Oleh : Ahmad Fajar Adi, S.H.,M.H. (Ketua LBH PK SULTRA) -  Bahwa annalisis hukum terhadap putusan PN Kendari Nomor 42/Pid.Sus- Tpk/2021/PN Kdi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi terbatas pada suap, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, pengadaan barang dan jasa, serta penggelapan dalam jabatan. Oleh karena itu, tidak semua perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi jika tidak diatur dalam Undang-Undang. Terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), karakteristiknya tidak sesuai dengan ciri tindak pidana korupsi, sehingga prinsip legalitas menghalangi penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Meskipun demikian, piutang negara termasuk piutang PNBP dapat dianggap sebagai kerugian negara, dan penyelesaian sengketa piutang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP, bahkan dengan melibatkan mitra atau Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam hal ini, PT Toshida Indonesia sebagai korporasi memiliki hubungan dengan penyelesaian masalah melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Sementara status Terdakwa Umar sebagai General Manager memunculkan pertanyaan mengenai kewenangan dan legitimasi dalam mewakili korporasi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 menghilangkan unsur "dapat" terkait kerugian keuangan negara, menekankan bahwa kerugian harus aktual dan nyata dalam kasus tindak pidana korupsi. Kedua norma yang ada perlu diterapkan dengan memperhatikan kekhususan situasi, dan dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan landasan yang sesuai.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.


Petunjuk dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana. Petunjuk syarat umum yang harus di penuhi agar perbuatan itu menjadi perbuatan yang membuatnya bisa dihukum pidana (Handrawan Handrawan et al., “Implementasi Pelaksanaan Ketentuan Pasal 35 UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bertentangan dengan Harapan Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Terhadap Peradilan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat Kabupaten/Kota,” Jurnal Ilmiah Dikdaya 12, no. 2 (Oktober 3, 2022): 281–293, http://dikdaya.unbari.ac.id/index.php/dikdaya/article/view/317.) Hukum pidana sendiri secara sistematis ternyata kerepotan, dan ini yang menjadi kelemahan hukum pidana, manakala harus menyelesaikan kasus hukum berupa tindak pidana korupsi, contohnya seperti: sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, dan penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom” (penanggulangan/pengobatan gejala), oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simtomatis dan bukan pengobatan kausatif. (Barda Nawawi Arief, “Beberapa Masalah dan Upaya Peningkatan Kualitas Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Korupsi,” Jurnal Legislasi Indonesia 4, no. 1 (2007): 36)


Dalam perspektif kriminologi (ilmu tentang kejahatan), bahwa terjadinya kejahatan atau tindak pidana bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi dan lingkungan, tetapi faktor- faktor lain yang bisa memudahkan seseorang dalam melakukan kejahatan dan salah satu faktornya adalah kedudukan atau jabatan tertentu. Hal ini selaras dengan anggapan bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki jabatan dan peran tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa korupsi terjadi karena Penyalahgunaan wewenang dalam konteks jabatan. (Herman, “Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,” Halu Oleo Law Review 2, no. 1 (Juni 6, 2018): 306–314, https://ojs.uho.ac.id/index.php/holrev/article/view/4192.) Terjadinya korupsi adalah karena adanya kekuasaan. Kekuasaan yang absolut cenderung koruptif, apalagi jika tidak ada transparansi, akuntabilitas dan check and balances. (Sabrina Hidayat, “Tinjauan Yuridis Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Melakukan Penyidikan Penggabungan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang,” Halu Oleo Law Review 1, no. 2 (2017): 180.)


Keuangan Negara yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, dan berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik daerah, yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.


Salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diperoleh dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan negara bukan pajak sendiri memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional. Oleh karenanya, diperlukan langkah-langkah pengadministrasian yang efisien agar penerimaan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Secara umum PNBP dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu:


  • Penerimaan Sumber Daya Alam, terdiri atas pendapatan sumber daya alam (SDA) migas yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerja sama pengelolaan sektor hulu migas dan SDA Non-migas yang diperoleh dari hasil pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi.
  • Pendapatan Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham BUMN (return on equity) yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih (pay-out ratio). Pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam kelompok perbankan dan non perbankan.
  • PNBP lainnya, meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh Kementerian Negara/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada masyarakat. Pungutan dilakukan oleh instansi pemerintah atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Kementerian/Lembaga tertentu. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), pendapatan BLU diperoleh atas produk layanan instansi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Bedanya, pendapatan yang diperoleh melalui mekanisme BLU ini dapat langsung digunakan oleh instansi yang bersangkutan. Selain itu, jenis dan tarif PNBP BLU tidak ditetapkan melalui PP melainkan Peraturan Menteri Keuangan.


Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak kejahatan yang digolongkan sebagai tindakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Berdasarkan terjemahan dari Black Law Dictionary, corruption atau korupsi berarti suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran lainnya. (Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: West Publishing Company, 1968), 414.)


Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah meliputi baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, yang sama dengan yang dimaksud dengan “korporasi” seperti yang terdapat di dalam Pasal 120 konsep Rancangan KUHP.7 Oleh karena itu, terdapat cukup alasan rasional untuk mengategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga, dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement). (Muh. Arief Syahroni, M. Alpian, dan Syofyan Hadi, “Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi,” DiH: Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2 (Juli 11, 2019): 124, http://jurnal.untag- sby.ac.id/index.php/dih/article/view/2478.)


Korupsi atau pemberantasan korupsi lebih tepat dikatakan sebagai suatu fenomena sosial, karena sudah dianggap sebagai budaya bangsa.7 Praktik korupsi telah sungguh-sungguh merugikan keuangan dan perekonomian negara, sementara perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang terus meningkat dan semakin kompleks.( Ramelan, “Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” Jurnal legislasi Indonesia 4, no. 1 (2007): 47–48).


Jika melihat beberapa tahun belakangan, ada beberapa kasus yang sebelumnya tidak masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi justru dipaksakan untuk diproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik ialah kasus dari PT Toshida Indonesia yang pada dasarnya merupakan kasus Perpajakan dimana terkait tidak pernah mengeluarkan kewajibannya untuk membayar pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada negara, namun oleh aparat penegak hukum justru dikesampingkan dan dipaksakan untuk diselesaikan dalam ranah Tindak Pidana Korupsi. Peran dari Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memuat ketentuan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini” artinya eksistensi dari asas systematische specialiteit (lebih populer dikenal dengan istilah lex specialis sistematic) ini menjadi salah satu penentu apakah suatu tindak pidana lain tersebut yang diatur dalam undang-undang lain itu dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi apabila dalam undang-undang lain.


Dalam beberapa Undang-Undang lain seperti yang dialami oleh PT Toshida Indonesia di atas, pelanggaran dalam bidang Perpajakan harus dapat diselesaikan secara khusus dan dalam Undang-Undang Perpajakan juga tidak mengatur muatan yang ada dalam asas systematische specialiteit. Tidak hanya terkait perpajakan, tetapi sering juga perbuatan pidana dalam tindak pidana perbankan dan tindak pidana asuransi dikualifikasi menjadi tindak pidana korupsi terlebih jika para subjek hukumnya atau para pihaknya merupakan BUMN/BUMD yang tentunya memiliki keterkaitan dengan negara. Selain itu, penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana tidak boleh dilakukan secara ragu-ragu, hal ini dikarenakan penegakan hukum harus dapat menjamin adanya kepastian hukum. Yang menjadi unsur ada tidaknya korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut ialah ada atau tidaknya kerugian negara yang harus dibuktikan terlebih dahulu.


Hukum pidana Indonesia pada awalnya hanya mengenal orang sebagai subjek hukum pidana. Hal ini seperti diatur dalam KUHP yang hanya mengenal manusia (natural person) sebagai pelaku tindak pidana. Alasan korporasi belum dikenal sebagai pelaku tindak pidana pada tahap ini karena pengaruh yang sangat kuat akan asas societies deliquere non potest yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas universitas deliquere non potest yang berarti bahwa badan hukum (korporasi) tak dapat dipidana. (Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 86) Merujuk pada berbagai penegakan hukum terhadap perbuatan pidana yang seharusnya diselesaikan dalam pidana khusus lainnya akan tetapi justru diselesaikan sebagai tindak pidana korupsi artinya kedudukan dan eksistensi dari muatan asas systematische specialiteit ini menjadi penting sebagai penentu apakah perbuatan yang diatur dalam undang-undang di luar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi atau diselesaikan dalam peradilan tindak pidana umum atau tindak pidana khusus lainnya. Muatan dalam asas systematische specialiteit ini akan selalu dihubungkan dengan perbuatan pidana lain yang dianggap berpotensi dapat menimbulkan terjadinya kerugian negara. Namun pada prinsipnya, tidak semua yang salah harus dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Muatan yang ada dalam asas lex specialis systematic derogate lex generali dan jika melalui penafsiran a contrario sudah sangat jelas bahwa Pasal 14 sebagai pasal yang dapat menentukan dapat berlaku atau tidak. (Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional & Aspek Internasional (Bandung: Mandar Maju, 2004), 45.


Eksistensi dari muatan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terkait dengan penegakan hukumnya akan memunculkan dualisme pemberlakuan Undang-Undang . Selain itu, ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ini juga sebagai pembatas dari pemberlakuan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut sehingga koridor hukum dari asasnya harus diperhatikan. Jika suatu aturan yang khusus dibenturkan dengan aturan khusus lainnya, maka berlaku asas systematische specialiteit atau kekhususan yang sistematis yakni ketentuan pidana yang bersifat khusus apabila pembentuk Undang-Undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang memiliki sifat khusus atau bersifat khusus dari khusus yang telah ada.( Ifrani Ifrani, “Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan,” Al-Adl: Jurnal Hukum 8, no. 3 (Maret 16, 2017): 5, https://ojs.uniska- bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/676)  Keberadaan Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ini memiliki hubungan yang erat dengan asas kekhususan yang sistematis tersebut yakni sebagai sarana untuk membatasi dan mencegah adanya tumpeng tindih penerapan asas “perbuatan melawan hukum” dan “menyalahgunakan wewenang” dalam tindak pidana korupsi sehingga dengan demikian tidak serta-merta suatu perbuatan melawan hukum dalam bidang pidana selalu berlaku pelanggaran yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Eksistensi dan kedudukan dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi berisi pengembangan asas dari lex specialis derogate legi generali yang terdapat di dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yakni menyatakan bahwa diberlakukan penerapan Undang-Undang yang “lebih khusus dari yang khusus” dalam proses penegakan hukumnya.(Marchelino Christian Nathaniel Mewengkang, “Penerapan Asas Kekhususan Sistematis sebagai Limitasi Antara Hukum Pidana dan Hukum Pidana Administrasi,” Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 10 (2017): 7, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/18593.) Adanya asas kekhususan sistematis seperti yang termuat dalam ketentuan Pasal 14 tentunya memiliki tujuan dan sebagai suatu bentuk upaya untuk menjustifikasi suatu perbuatan tersebut secara kuantitatif dan kualitatif atas efisiensi penerapan Norma hukumnya dapat terwujud dengan maksimal dan dapat memberikan kepastian hukum sebagaimana sesuai dengan cita-cita dari penegakan hukum itu sendiri.

KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Jo. UNDANG- UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Setelah menguraikan pengertian tentang tindak pidana korupsi, maka perlu diketahui pula berbagai macam bentuk dan jenis-jenis tindak pidana korupsi itu sendiri. terdapat 7 (tujuh) tipologi/bentuk dan jenis korupsi yaitu (Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Keni Media, 2012), 131):

  1. Korupsi transaktif (transaktive corruption) yaitu jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis dengan pemerintah.
  2. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagi keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan kroni-kroninya.
  3. Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang biasanya disertai dengan ancaman, teror, penekanan (pressure) terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya.
  4. Korupsi invensif (investive corruption) adalah memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan.
  5. Korupsi defensif (defensive corruption) adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.
  6. Korupsi otogenik (outogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri (single fighter) tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat. Korupsi suportif (supportive corruption) adalah korupsi dukungan dan tidak ada pihak lain yang terlibat:


Berdasarkan tujuan seseorang melakukan korupsi, Kumorotomo sebagaimana dikutip oleh Chatrina dan Dessy, ia membedakan korupsi menjadi dua, yaitu: (Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, Pendidikan Anti Korupsi: Kajian Antikorupsi Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2016)

a. Korupsi Politis, yaitu penyelewengan kekuasaan yang mengarah ke permainan politis, nepotisme, klientelisme (sistem politik yang didasarkan pada hubungan pribadi daripada manfaat pribadi), penyalahgunaan pemungutan suara, dan sebagainya. Faktor pendorong korupsi jenis ini adalah nilai-nilai perbedaan (different values), yaitu merasa bahwa dirinya berbeda dari orang lain. Latar belakang psikologis tersebut di antaranya sebagai berikut:

  1. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain;
  2. Keinginan untuk dituakan (dihormati);
  3.  Keinginan dianggap sebagai pemimpin oleh banyak orang.
b. Korupsi material, yaitu korupsi yang berbentuk manipulasi, penyuapan, penggelapan, dan sebagainya.Faktor pendorong korupsi jenis ini menyangkut nilai-nilai kesejahteraan (welfare values). Korupsi  material di antaranya sebagai berikut:
  1. Memperoleh kenyamanan hidup;
  2. Memperoleh kekayaan materi;
  3. Mendapat kemudahan dalam segala aspek.


Adapun jenis dan tipologi korupsi menurut bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut. (Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Malang: Bayu Media, 2005), 33)

  1. Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi (Pasal 2);
  2. Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan (Pasal 3);
  3. Tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (Pasal 5);
  4. Tindak pidana suap pada hakim dan advokat (Pasal 6);
  5. Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7);
  6.  Korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga (Pasal 8);
  7. Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar (Pasal 9);
  8. Tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta, surat, atau daftar (Pasal 10);
  9. Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (Pasal 11);
  10. Korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau hakim dan advokat menerima hadiah atau janji; pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan (Pasal 12);
  11. Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi (Pasal 12b);
  12. Korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13);
  13. Tindak pidana yang berhubungan dengan hukum acara pemberantasan korupsi;
  14. Tindak pidana pelanggaran terhadap Pasal 220, 231, 421, 429, dan 430 KUHP (Pasal 23).


United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 ruang lingkup korupsi ternyata lebih luas, yaitu: (Astika Nurul Hidayah, “Analisis Aspek Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pendidikan Anti Korupsi,” Kosmik Hukum 18, no. 2 (Oktober 1, 2018):137,https://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/KOSMIK/article/view/3447/2159.

  1. Penyuapan pejabat publik nasional (bribery of national public);
  2. Penyuapan terhadap publik asing dan pejabat organisasi internasional publik (bribery of foreign public official and officials of public international organization);
  3. Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang pejabat publik (embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official);
  4. Memperdagangkan pengaruh (trading in influence);
  5. Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of functions);
  6. Memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment);
  7. Penyuapan pada sektor privat (bribery in the privat sector);
  8. Penggelapan kekayaan di sektor privat (embezzlement of property in the private sector).


Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada perbuatan yang selama ini dipahami oleh masyarakat pada umumnya yaitu korupsi yang diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Adapun berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya maka yang termasuk sebagai tindak pidana korupsi, yaitu:

  1. Merugikan keuangan Negara;
  2. Perbuatan Memperkaya atau Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi;
  3. Penyuapan;
  4. Penyalahgunaan Jabatan;
  5. Pemerasan;
  6. Kecurangan;
  7. Benturan Kepentingan;
  8. Gratifikasi;
  9. Percobaan, Pemufakatan, dan Pembantuan Melakukan Tindak Pidana Korupsi;
  10. Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.


Unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 meniadakan atau menghapus frasa kata “dapat” dalam unsur kerugian keuangan Negara dalam ketentuan tindak pidana korupsi dengan semakin memperjelas mengenai kerugian keuangan Negara harus Pasti dan nyata. Dengan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 tersebut menjadikan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 menjadi delik materiil Tindak pidana korupsi. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. (Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), 19)


Dokumen Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB) berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor: 1806 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyusunan, Evaluasi, Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya, Serta Laporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yakni:

  1. Pasal 1 (27): “RAKB Tahunan adalah rencana kerja anggaran biaya tahunan berjalan pada            kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang meliputi aspek pengusahaan, aspek        teknik dan aspek lingkungan;”
  2. Pasal 61 huruf (b): “Pemegang IUP wajib menyusun dan menyampaikan RAKB Tahunan kepada        menteri atau gubernur sesuai kewenangannya untuk mendapat persetujuan;
  3. Pasal  77: “Pemegang IUP wajib menyusun dan menyampaikan RAKB Tahunan kepada menteri atau gubernur sesuai kewenangan untuk mendapat persetujuan dan menyampaikan laporan tertulis secara berkala atas RAKB Tahunan;”
  4. Pasal 88: “Perubahan RAKB Tahunan 1 kali pada tahun berjalan bila terjadi perubahan produksi dan dilakukan paling lambat tanggal 31 Juli tahun berjalan.
  5. Proses pelaksanaan Rapat Evaluasi RKAB telah sesuai prosedur dengan mengacuh dengan ketentuan hukum yang berlaku yakni:

1.   Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; dan menyebutkan bahwa

Pasal 79

(1)    Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi atas RKAB Tahunan yang disampaikan oleh IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.

(2)    Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atau tanggapan atas RKAB Tahunan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya RKAB Tahunan secara lengkap dan benar.

(3)    Dalam hal Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan tanggapan atas RKAB Tahunan, pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib menyampaikan perbaikan atas RKAB Tahunan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya tanggapan atas RKAB Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4)    Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas RKAB Tahunan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya perbaikan atas RKAB Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5)    Dalam hal Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya tidak memberikan persetujuan atas RKAB Tahunan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4), pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dapat melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan RKAB Tahunan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 sampai dengan Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan.

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1806 K/30/MEM/2018, tanggal 30 April 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan, Penyusunan, Evaluasi, Persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya, Serta Laporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Khususnya pada Lampiran II mengenai Format Penyusunan RKAB Tahunan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi, telah memenuhi semua matriks, Serta telah sesuai prosedur pada Lampiran V Tata Cara Evaluasi dan Persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya Untuk IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.


Pelunasan piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP- PKH) bukan menjadi syarat persetujuan RKAB. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1806 K/30/MEM/2018, tanggal 30 April 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan, Penyusunan, Evaluasi, Persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya, serta laporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya pada Lampiran II mengenai Format Penyusunan RKAB Tahunan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi, dan pada Lampiran V Tata Cara Evaluasi dan Persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya Untuk IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.


Pada Matriks Legalitas pada Lampiran II mengenai Format Penyusunan RKAB Tahunan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi, hanya disebutkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Nomor SK dan tanggal berlaku dan tanggal berakhir, serta Luas Wilayah Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Matriks Penerimaan Negara tidak ada menyebutkan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH).


Pengelola PNBP ada pada kementerian masing-masing dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah mengenai Jenis dan Tarif masing-masing Instansi Pengelola PNBP. Pengelolaan PNBP Kementerian Kehutanan dan PNBP Kementerian ESDM berbeda, untuk pengelolaan PNBP ESDM regulasinya sesuai Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedangkan regulasi PNBP Kementerian Kehutanan sesuai Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi dari kawasan hutan tersebut, maka pemerintah memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan kawasan hutan khususnya kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.


Keterlambatan penyetoran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan denda administrasi 2% per bulan dan bagian dari bulan dihitung satu bulan untuk maksimal 24 bulan. (Pasal 3 Ayat 6 Permenkeu No. 91 Tahun 2009);


Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi terdapat kekurangan penyetoran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan, wajib bayar wajib menyetor kekurangan dimaksud secepatnya ke Kas Negara ditambah dengan sanksi denda administrasi sebesar 2 % per bulan untuk paling lama 24 bulan, dari jumlah kekurangan tersebut. (Pasal 5 Ayat 4 Permenkeu No. 91 Tahun 2009); Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan akan dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin atau suatu korporasi dalam hal ini haruslah berimplikasi pada adanya kerugian keuangan Negara dengan jumlah yang pasti (actual loss) bukan sekedar perkiraan (potential loss).


Tunggakan PNBP-PKH yang dilakukan oleh korporasi dalam hal ini PT Toshida Indonesia, perlu dipahami bahwa Terdakwa UMAR, tidak tepat sebagai yang dipersalahkan karena tunggakan PNBP-PKH tersebut. Hal ini dikarenakan PT Toshida Indonesia sendiri adalah suatu korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan “Direksi adalah orang Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan PT Toshida Indonesia yang tercatat sebagai Direktur Utama adalah Laode Sinarwan Oda, hal ini sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan, Terdakwa Umar hanyalah sebagai General Manager yang diangkat secara lisan tanpa pernah menerima SK Pengangkatan secara tertulis sehingga tidak mempunyai legal standing dalam mewakili korporasi baik di dalam maupun di luar pengadilan.


Mengenai kerugian keuangan negara sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 meniadakan atau menghapus frasa kata dapatunsur Kerugian Keuangan Negara sehingga semakin memperjelas mengenai Kerugian Keuangan Negara harus Pasti (actual loss) dan nyata bukan sekedar perkiraan (potential loss) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dari dua Norma yang ada dalam aturan khusus yang harus digunakan adalah aturan yang memuat kekhususan yang lebih khusus yang memuat aturan yang memenuhi kualifikasi dari pelanggaran yang dibuat. Adanya piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) suatu korporasi maka penyelesaian permasalahan tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor

9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah yang paling tepat diberlakukan.

KESIMPULAN

Analisis hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) izin pinjam pakai kawasan hutan dalam perspektif tindak pidana korupsi pada kasus Putusan PN Kendari Nomor 42/Pid.Sus- Tpk/2021/PN Kdi) tidak termasuk dalam tindak pidana korupsi sebab bentuk tindak pidana korupsi hanya meliputi suap, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, merugikan keuangan Negara, pengadaan barang dan jasa dan penggelapan dalam jabatan. Oleh sebab itu tiada perbuatan yang boleh dikualifikasikan tindak pidana korupsi apabila bentuk perbuatan tersebut tidak dirumuskan di dalam undang-undang. Terkait mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PNBP IPPKH) tidak termaksud dalam bentuk karakteristik tindak pidana korupsi, maka menurut asas legalitas tidak dapat di terapkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, hal ini dikarenakan adanya batasan bentuk tersebut


Menjadi dasar limitatif bagi penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Piutang negara termaksud juga dengan piutang PNBP dapat dikatakan sebagai kerugian negara, ketika instansi pengelola PNBP telah maksimal menagih piutang PNBP, dengan melakukan teguran, dan apabila wajib bayar belum juga membayar piutang PNBP, instansi pengelola dapat melimpahkan tugasnya kepada mitra Instansi Pengelola PNBP atau Panitia Urusan Piutang Negara. Bahwa PT Toshida Indonesia sendiri adalah suatu korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Terdakwa UMAR, hanya sebagai General Manager yang diangkat secara lisan tanpa pernah menerima SK Pengangkatan secara tertulis sehingga tidak mempunyai legal standing dalam mewakili korporasi baik di dalam maupun di luar pengadilan, bahwa mengenai Kerugian Keuangan Negara sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 meniadakan atau menghapus frasa kata “dapat” unsur kerugian keuangan negara sehingga semakin memperjelas mengenai kerugian keuangan negara harus pasti (actual loss) dan nyata bukan sekedar perkiraan (potential loss) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dari dua norma yang ada dalam aturan khusus yang harus digunakan adalah aturan yang memuat kekhususan yang lebih khusus yang memuat aturan yang memenuhi kualifikasi dari pelanggaran yang dibuat. Adanya piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) suatu korporasi maka penyelesaian permasalahan tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah yang paling tepat diberlakukan.