Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi
pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka
membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan, mencapai pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian,
dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.
Petunjuk dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukum pidana. Petunjuk syarat
umum yang harus di penuhi agar perbuatan
itu menjadi perbuatan
yang membuatnya bisa dihukum pidana (Handrawan
Handrawan et al., “Implementasi Pelaksanaan Ketentuan Pasal 35 UU No.46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bertentangan dengan Harapan Asas
Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Terhadap Peradilan Tindak Pidana
Korupsi di Tingkat Kabupaten/Kota,” Jurnal Ilmiah Dikdaya 12, no. 2 (Oktober 3,
2022): 281–293, http://dikdaya.unbari.ac.id/index.php/dikdaya/article/view/317.)
Hukum pidana sendiri secara sistematis ternyata kerepotan, dan ini yang menjadi kelemahan hukum pidana, manakala
harus menyelesaikan kasus hukum berupa tindak pidana korupsi, contohnya
seperti: sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat kompleks
dan berada di luar jangkauan hukum pidana, dan
penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am
symptom” (penanggulangan/pengobatan gejala), oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simtomatis dan
bukan pengobatan kausatif. (Barda Nawawi
Arief, “Beberapa Masalah dan Upaya Peningkatan Kualitas Penegakan Hukum Pidana
dalam Pemberantasan Korupsi,” Jurnal Legislasi Indonesia 4, no. 1 (2007): 36)
Dalam perspektif kriminologi (ilmu tentang kejahatan), bahwa terjadinya kejahatan atau tindak pidana bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi dan lingkungan, tetapi faktor- faktor lain yang bisa memudahkan seseorang dalam melakukan kejahatan dan salah satu faktornya adalah kedudukan atau jabatan tertentu. Hal ini selaras dengan anggapan bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki jabatan dan peran tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa korupsi terjadi karena Penyalahgunaan wewenang dalam konteks jabatan. (Herman, “Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,” Halu Oleo Law Review 2, no. 1 (Juni 6, 2018): 306–314, https://ojs.uho.ac.id/index.php/holrev/article/view/4192.) Terjadinya korupsi adalah karena adanya kekuasaan. Kekuasaan yang absolut cenderung koruptif, apalagi jika tidak ada transparansi, akuntabilitas dan check and balances. (Sabrina Hidayat, “Tinjauan Yuridis Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Melakukan Penyidikan Penggabungan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang,” Halu Oleo Law Review 1, no. 2 (2017): 180.)
Keuangan Negara yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, dan berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik daerah, yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diperoleh dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan negara bukan pajak sendiri memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional. Oleh karenanya, diperlukan langkah-langkah pengadministrasian yang efisien agar penerimaan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Secara umum PNBP dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu:
- Penerimaan Sumber Daya Alam, terdiri atas pendapatan sumber daya alam (SDA) migas yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerja sama pengelolaan sektor hulu migas dan SDA Non-migas yang diperoleh dari hasil pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi.
- Pendapatan Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham BUMN (return on equity) yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih (pay-out ratio). Pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam kelompok perbankan dan non perbankan.
- PNBP lainnya, meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh Kementerian Negara/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada masyarakat. Pungutan dilakukan oleh instansi pemerintah atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Kementerian/Lembaga tertentu. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), pendapatan BLU diperoleh atas produk layanan instansi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Bedanya, pendapatan yang diperoleh melalui mekanisme BLU ini dapat langsung digunakan oleh instansi yang bersangkutan. Selain itu, jenis dan tarif PNBP BLU tidak ditetapkan melalui PP melainkan Peraturan Menteri Keuangan.
Tindak pidana
korupsi merupakan salah satu tindak kejahatan yang digolongkan sebagai tindakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Berdasarkan terjemahan dari Black Law Dictionary, corruption atau korupsi
berarti suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah
maksud untuk mendapatkan beberapa
keuntungan yang bertentangan dengan
tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari
suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan
memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran lainnya. (Henry Campbell Black, Black’s Law
Dictionary (St. Paul-Minnesota: West Publishing Company, 1968), 414.)
Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa
yang dimaksud dengan korporasi adalah
meliputi baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, yang sama dengan yang
dimaksud dengan “korporasi” seperti yang
terdapat di dalam Pasal 120 konsep
Rancangan KUHP.7 Oleh
karena itu, terdapat cukup alasan
rasional untuk mengategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga, dalam upaya pemberantasannya tidak
lagi dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement). (Muh. Arief Syahroni, M. Alpian, dan Syofyan
Hadi, “Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi,” DiH: Jurnal
Ilmu Hukum 15, no. 2 (Juli 11, 2019): 124, http://jurnal.untag-
sby.ac.id/index.php/dih/article/view/2478.)
Korupsi atau pemberantasan korupsi lebih tepat dikatakan sebagai suatu fenomena sosial, karena sudah dianggap
sebagai budaya bangsa.7 Praktik
korupsi telah sungguh-sungguh merugikan keuangan dan
perekonomian negara, sementara
perundang-undangan yang
ada tidak lagi efektif
memberantas tindak pidana
korupsi yang terus meningkat dan semakin
kompleks.(
Ramelan,
“Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,” Jurnal legislasi Indonesia 4, no. 1 (2007): 47–48).
Jika melihat beberapa tahun belakangan, ada beberapa kasus yang sebelumnya tidak masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi
justru dipaksakan untuk diproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu kasus yang menarik perhatian publik ialah kasus dari PT
Toshida Indonesia
yang pada dasarnya merupakan kasus Perpajakan dimana terkait tidak pernah
mengeluarkan kewajibannya untuk membayar pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
kepada negara, namun
oleh aparat penegak
hukum justru dikesampingkan dan dipaksakan
untuk diselesaikan dalam ranah Tindak Pidana Korupsi. Peran dari Pasal 14
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memuat ketentuan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan
Undang-Undang yang secara
tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak
pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini” artinya eksistensi dari asas systematische specialiteit (lebih populer dikenal dengan
istilah lex specialis sistematic) ini menjadi salah satu penentu apakah suatu
tindak pidana lain tersebut yang diatur dalam undang-undang
lain
itu dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi apabila dalam undang-undang lain.
Dalam beberapa Undang-Undang lain seperti yang dialami
oleh PT Toshida
Indonesia di
atas, pelanggaran dalam bidang Perpajakan harus dapat diselesaikan secara khusus dan dalam
Undang-Undang Perpajakan juga tidak mengatur muatan yang ada dalam asas systematische specialiteit. Tidak hanya terkait perpajakan, tetapi sering juga perbuatan pidana dalam
tindak pidana perbankan dan tindak
pidana asuransi dikualifikasi menjadi tindak pidana korupsi terlebih jika para subjek hukumnya atau para pihaknya merupakan BUMN/BUMD
yang tentunya memiliki
keterkaitan dengan negara. Selain itu, penegakan hukum terhadap
suatu tindak pidana tidak boleh
dilakukan secara ragu-ragu,
hal ini dikarenakan penegakan hukum harus dapat menjamin
adanya kepastian hukum. Yang menjadi unsur ada tidaknya
korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut ialah ada
atau tidaknya kerugian negara yang harus dibuktikan terlebih dahulu.
Hukum
pidana Indonesia pada awalnya hanya mengenal orang sebagai subjek hukum pidana.
Hal ini seperti diatur dalam KUHP yang hanya mengenal manusia (natural person) sebagai pelaku tindak pidana.
Alasan korporasi belum dikenal sebagai pelaku tindak pidana
pada tahap ini karena pengaruh
yang sangat kuat akan asas societies
deliquere non potest yaitu badan-badan hukum tidak
dapat melakukan tindak pidana atau asas universitas
deliquere non potest yang berarti bahwa badan hukum (korporasi) tak dapat
dipidana. (Muladi dan Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), 86) Merujuk pada berbagai penegakan hukum terhadap perbuatan pidana
yang seharusnya diselesaikan dalam pidana
khusus lainnya akan tetapi justru
diselesaikan sebagai tindak pidana korupsi artinya kedudukan dan eksistensi dari muatan asas systematische specialiteit ini menjadi
penting sebagai penentu apakah perbuatan yang diatur dalam undang-undang
di luar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dikualifikasi sebagai tindak
pidana korupsi atau diselesaikan dalam peradilan tindak pidana umum atau tindak pidana
khusus lainnya. Muatan
dalam asas systematische specialiteit ini akan selalu
dihubungkan dengan perbuatan pidana lain yang dianggap berpotensi dapat menimbulkan terjadinya kerugian negara. Namun pada prinsipnya, tidak semua yang salah harus dikualifikasi
sebagai tindak pidana korupsi. Muatan
yang ada dalam asas lex specialis
systematic derogate lex generali dan jika melalui
penafsiran a contrario sudah sangat jelas bahwa Pasal 14 sebagai
pasal yang dapat
menentukan dapat berlaku
atau tidak. (Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi,
Aspek Nasional & Aspek Internasional (Bandung: Mandar Maju, 2004), 45.
Eksistensi dari muatan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terkait dengan penegakan hukumnya akan memunculkan
dualisme pemberlakuan Undang-Undang . Selain itu, ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ini juga sebagai
pembatas dari pemberlakuan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi
tersebut sehingga koridor hukum dari asasnya harus diperhatikan. Jika suatu aturan yang khusus dibenturkan
dengan aturan khusus lainnya, maka
berlaku asas systematische specialiteit atau
kekhususan yang sistematis yakni ketentuan pidana yang bersifat khusus apabila
pembentuk Undang-Undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang memiliki sifat khusus atau bersifat khusus
dari khusus yang telah ada.(
Ifrani Ifrani, “Penerapan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan,” Al-Adl:
Jurnal Hukum 8, no. 3 (Maret 16, 2017): 5, https://ojs.uniska- bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/676)
Keberadaan Pasal 14
Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi ini memiliki
hubungan yang erat dengan asas kekhususan
yang sistematis tersebut yakni sebagai sarana untuk membatasi dan mencegah
adanya tumpeng tindih penerapan asas “perbuatan melawan hukum” dan
“menyalahgunakan wewenang” dalam tindak pidana korupsi sehingga dengan demikian
tidak serta-merta suatu perbuatan melawan hukum dalam bidang pidana selalu
berlaku pelanggaran yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Eksistensi dan kedudukan dari Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi berisi pengembangan asas dari lex specialis derogate
legi generali yang terdapat di dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yakni menyatakan bahwa diberlakukan penerapan
Undang-Undang yang “lebih khusus dari yang khusus” dalam proses penegakan
hukumnya.(Marchelino Christian Nathaniel Mewengkang, “Penerapan Asas Kekhususan
Sistematis sebagai Limitasi Antara Hukum Pidana dan Hukum Pidana Administrasi,”
Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 10 (2017): 7,
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/18593.) Adanya asas kekhususan
sistematis seperti
yang termuat dalam ketentuan Pasal
14 tentunya memiliki
tujuan dan sebagai suatu bentuk
upaya untuk menjustifikasi suatu
perbuatan tersebut secara kuantitatif dan kualitatif atas efisiensi
penerapan Norma hukumnya dapat terwujud dengan maksimal dan dapat memberikan kepastian hukum sebagaimana sesuai
dengan cita-cita dari penegakan hukum itu sendiri.
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Jo. UNDANG- UNDANG NOMOR
20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Setelah menguraikan pengertian tentang tindak pidana korupsi, maka perlu diketahui pula berbagai macam bentuk dan jenis-jenis tindak pidana korupsi itu sendiri. terdapat 7 (tujuh) tipologi/bentuk dan jenis korupsi
yaitu (Yopie Morya Immanuel Patiro,
Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Keni Media, 2012),
131):
- Korupsi transaktif (transaktive corruption) yaitu jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis dengan
pemerintah.
- Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagi keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan kroni-kroninya.
- Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang biasanya disertai
dengan ancaman, teror, penekanan (pressure)
terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya.
- Korupsi
invensif (investive corruption)
adalah memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan.
- Korupsi defensif (defensive
corruption) adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini
membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.
- Korupsi
otogenik (outogenic corruption) yaitu
korupsi yang dilakukan seorang diri (single
fighter) tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat. Korupsi
suportif (supportive corruption)
adalah korupsi dukungan dan tidak ada pihak lain yang terlibat:
Berdasarkan tujuan seseorang melakukan korupsi, Kumorotomo sebagaimana dikutip oleh Chatrina dan Dessy, ia membedakan korupsi menjadi dua, yaitu: (Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, Pendidikan Anti Korupsi: Kajian Antikorupsi Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2016)
a. Korupsi Politis, yaitu penyelewengan kekuasaan yang mengarah ke permainan politis, nepotisme, klientelisme (sistem politik yang didasarkan pada hubungan pribadi daripada manfaat pribadi), penyalahgunaan pemungutan suara, dan sebagainya. Faktor pendorong korupsi jenis ini adalah nilai-nilai perbedaan (different values), yaitu merasa bahwa dirinya berbeda dari orang lain. Latar belakang psikologis tersebut di antaranya sebagai berikut:
- Keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain;
- Keinginan untuk dituakan (dihormati);
- Keinginan dianggap sebagai pemimpin oleh banyak orang.
- Memperoleh kenyamanan hidup;
- Memperoleh kekayaan materi;
- Mendapat kemudahan dalam segala aspek.
Adapun
jenis dan tipologi korupsi menurut bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang
dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut. (Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia
(Malang: Bayu Media, 2005), 33)
- Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi (Pasal 2);
- Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan (Pasal 3);
- Tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (Pasal 5);
- Tindak pidana suap pada hakim dan advokat (Pasal 6);
- Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7);
- Korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga (Pasal 8);
- Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar (Pasal 9);
- Tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta, surat, atau daftar (Pasal 10);
- Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (Pasal 11);
- Korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau
hakim dan advokat menerima hadiah
atau janji; pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta
pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan
(Pasal 12);
- Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi (Pasal 12b);
- Korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13);
- Tindak pidana yang berhubungan dengan hukum acara pemberantasan korupsi;
- Tindak pidana pelanggaran terhadap Pasal 220, 231, 421, 429, dan 430 KUHP (Pasal 23).
United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 ruang lingkup korupsi ternyata
lebih luas, yaitu: (Astika
Nurul Hidayah, “Analisis Aspek Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pendidikan
Anti Korupsi,” Kosmik Hukum 18, no. 2 (Oktober 1, 2018):137,https://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/KOSMIK/article/view/3447/2159.
- Penyuapan pejabat publik nasional (bribery of national public);
- Penyuapan terhadap publik asing dan pejabat organisasi internasional publik (bribery of foreign public official and officials of public international organization);
- Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang pejabat publik (embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official);
- Memperdagangkan pengaruh (trading in influence);
- Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of functions);
- Memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment);
- Penyuapan pada sektor privat (bribery in the privat sector);
- Penggelapan kekayaan di sektor privat (embezzlement of property in the private sector).
Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada perbuatan yang selama ini dipahami oleh masyarakat pada umumnya yaitu korupsi yang diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Adapun berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya maka yang termasuk sebagai tindak pidana korupsi, yaitu:
- Merugikan keuangan Negara;
- Perbuatan Memperkaya atau Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi;
- Penyuapan;
- Penyalahgunaan Jabatan;
- Pemerasan;
- Kecurangan;
- Benturan Kepentingan;
- Gratifikasi;
- Percobaan, Pemufakatan, dan Pembantuan Melakukan Tindak Pidana Korupsi;
- Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal
25 Januari 2017 meniadakan atau menghapus frasa kata “dapat” dalam unsur kerugian keuangan
Negara dalam ketentuan tindak pidana korupsi dengan semakin memperjelas
mengenai kerugian keuangan
Negara harus Pasti dan nyata. Dengan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 tersebut menjadikan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 menjadi delik
materiil Tindak pidana korupsi. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi
secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis secara terperinci
mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
(Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami
untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), 19)
Dokumen Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB) berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor: 1806 K/30/MEM/2018 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penyusunan, Evaluasi, Persetujuan Rencana Kerja dan
Anggaran Biaya, Serta Laporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yakni:
- Pasal 1 (27): “RAKB Tahunan adalah rencana kerja anggaran biaya tahunan berjalan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang meliputi aspek pengusahaan, aspek teknik dan aspek lingkungan;”
- Pasal 61 huruf (b): “Pemegang IUP wajib menyusun dan menyampaikan RAKB Tahunan kepada menteri atau gubernur sesuai kewenangannya untuk mendapat persetujuan;
- Pasal 77: “Pemegang IUP wajib menyusun dan menyampaikan RAKB Tahunan kepada menteri atau gubernur sesuai kewenangan untuk mendapat persetujuan dan menyampaikan laporan tertulis secara berkala atas RAKB Tahunan;”
- Pasal 88: “Perubahan RAKB Tahunan 1 kali pada tahun berjalan bila terjadi perubahan produksi dan dilakukan paling lambat tanggal 31 Juli tahun berjalan.
- Proses pelaksanaan Rapat Evaluasi RKAB telah sesuai prosedur dengan mengacuh dengan ketentuan hukum yang berlaku yakni:
1. Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; dan menyebutkan bahwa
Pasal 79
(1)
Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan
evaluasi atas RKAB Tahunan yang disampaikan oleh IUP Eksplorasi, IUPK
Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus
untuk pengolahan dan/atau
pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
(2)
Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Jenderal atas nama
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atau tanggapan atas RKAB Tahunan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak diterimanya RKAB Tahunan secara
lengkap dan benar.
(3)
Dalam
hal Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya memberikan tanggapan atas RKAB Tahunan, pemegang IUP Eksplorasi,
IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib menyampaikan perbaikan atas RKAB Tahunan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya tanggapan
atas RKAB Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan
persetujuan atas RKAB Tahunan dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya
perbaikan atas RKAB Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Dalam
hal Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya tidak memberikan persetujuan atas
RKAB Tahunan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
ayat (4), pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK
Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dapat melakukan
kegiatan pertambangan sesuai dengan RKAB Tahunan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 sampai dengan Direktur
Jenderal atas nama Menteri
atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya memberikan persetujuan.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1806 K/30/MEM/2018, tanggal 30 April 2018 tentang
Pedoman Pelaksanaan, Penyusunan, Evaluasi, Persetujuan Rencana Kerja Anggaran
Biaya, Serta Laporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Khususnya pada Lampiran
II mengenai Format Penyusunan RKAB Tahunan IUP Operasi Produksi
atau IUPK Operasi
Produksi, telah memenuhi semua
matriks, Serta telah sesuai prosedur pada Lampiran V Tata Cara Evaluasi dan Persetujuan Rencana
Kerja Anggaran Biaya
Untuk IUP Operasi
Produksi atau IUPK Operasi Produksi.
Pelunasan piutang
Penerimaan Negara Bukan Pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP- PKH) bukan menjadi syarat
persetujuan RKAB. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1806 K/30/MEM/2018, tanggal 30 April 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan, Penyusunan, Evaluasi, Persetujuan Rencana Kerja Anggaran
Biaya, serta laporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya
pada Lampiran II mengenai Format Penyusunan
RKAB Tahunan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi, dan pada Lampiran V Tata Cara Evaluasi dan Persetujuan Rencana
Kerja Anggaran Biaya Untuk IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.
Pada Matriks Legalitas pada Lampiran II mengenai Format Penyusunan RKAB Tahunan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi, hanya disebutkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Nomor SK dan tanggal berlaku
dan tanggal berakhir, serta Luas Wilayah Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Matriks
Penerimaan Negara tidak ada menyebutkan Penerimaan
Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH).
Pengelola PNBP ada pada kementerian masing-masing dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah mengenai Jenis dan Tarif masing-masing Instansi Pengelola PNBP. Pengelolaan PNBP Kementerian Kehutanan dan PNBP Kementerian ESDM berbeda, untuk pengelolaan PNBP ESDM regulasinya sesuai Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedangkan regulasi PNBP Kementerian Kehutanan sesuai Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi dari kawasan hutan tersebut, maka pemerintah memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan kawasan hutan khususnya kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Keterlambatan penyetoran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan denda administrasi 2% per bulan dan bagian dari bulan dihitung satu bulan untuk maksimal 24 bulan. (Pasal 3 Ayat 6 Permenkeu No. 91 Tahun 2009);
Dalam
hal berdasarkan hasil verifikasi terdapat kekurangan penyetoran PNBP Penggunaan Kawasan
Hutan, wajib bayar wajib menyetor
kekurangan dimaksud secepatnya
ke Kas Negara ditambah dengan sanksi denda administrasi sebesar 2 % per bulan untuk paling
lama 24 bulan,
dari jumlah kekurangan tersebut. (Pasal 5 Ayat 4 Permenkeu No. 91 Tahun 2009);
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan akan dicabut oleh pemberi izin sebagai
sanksi yang dikenakan kepada
pemegang izin atau suatu korporasi dalam
hal ini haruslah berimplikasi pada adanya kerugian
keuangan Negara dengan jumlah yang pasti (actual loss) bukan sekedar perkiraan (potential loss).
Tunggakan PNBP-PKH
yang dilakukan oleh korporasi dalam
hal ini PT Toshida Indonesia, perlu dipahami bahwa Terdakwa
UMAR, tidak tepat sebagai yang dipersalahkan karena tunggakan PNBP-PKH
tersebut. Hal ini dikarenakan PT Toshida Indonesia sendiri adalah suatu korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas
(PT) yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas menyatakan “Direksi
adalah orang Perseroan yang berwenang
dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan PT Toshida Indonesia yang tercatat sebagai
Direktur Utama adalah Laode Sinarwan Oda, hal ini sesuai dengan fakta
yang terungkap dalam persidangan, Terdakwa Umar hanyalah sebagai General
Manager yang diangkat secara lisan tanpa pernah menerima SK Pengangkatan secara
tertulis sehingga tidak mempunyai legal
standing dalam mewakili korporasi baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Mengenai kerugian keuangan negara sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25
Januari 2017 meniadakan
atau menghapus frasa kata “dapat” unsur Kerugian Keuangan
Negara sehingga semakin memperjelas mengenai Kerugian Keuangan Negara
harus Pasti (actual loss)
dan nyata bukan
sekedar perkiraan (potential
loss) dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi. Dari dua Norma yang ada dalam aturan khusus
yang harus digunakan adalah aturan yang memuat kekhususan yang lebih
khusus yang memuat aturan yang memenuhi kualifikasi dari pelanggaran yang dibuat. Adanya
piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) suatu korporasi
maka penyelesaian permasalahan tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah yang paling tepat diberlakukan.
KESIMPULAN
Analisis hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) izin pinjam pakai kawasan hutan dalam perspektif tindak pidana korupsi pada kasus Putusan PN Kendari Nomor 42/Pid.Sus- Tpk/2021/PN Kdi) tidak termasuk dalam tindak pidana korupsi sebab bentuk tindak pidana korupsi hanya meliputi suap, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, merugikan keuangan Negara, pengadaan barang dan jasa dan penggelapan dalam jabatan. Oleh sebab itu tiada perbuatan yang boleh dikualifikasikan tindak pidana korupsi apabila bentuk perbuatan tersebut tidak dirumuskan di dalam undang-undang. Terkait mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PNBP IPPKH) tidak termaksud dalam bentuk karakteristik tindak pidana korupsi, maka menurut asas legalitas tidak dapat di terapkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, hal ini dikarenakan adanya batasan bentuk tersebut
Menjadi
dasar limitatif bagi penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana
korupsi. Piutang negara termaksud juga dengan piutang PNBP dapat dikatakan
sebagai kerugian negara, ketika
instansi pengelola PNBP telah
maksimal menagih piutang PNBP, dengan melakukan
teguran, dan apabila wajib bayar belum juga membayar piutang PNBP, instansi
pengelola dapat melimpahkan tugasnya kepada mitra Instansi Pengelola PNBP atau
Panitia Urusan Piutang Negara. Bahwa PT Toshida Indonesia
sendiri adalah suatu korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Terdakwa UMAR, hanya sebagai General
Manager yang diangkat secara lisan tanpa pernah
menerima SK Pengangkatan secara
tertulis sehingga tidak mempunyai legal standing
dalam mewakili korporasi baik di dalam maupun
di luar pengadilan, bahwa mengenai Kerugian Keuangan Negara sebagaimana
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 meniadakan atau menghapus frasa
kata “dapat” unsur kerugian keuangan
negara sehingga semakin memperjelas mengenai kerugian keuangan negara harus pasti (actual loss) dan nyata bukan sekedar perkiraan
(potential loss) dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi.
Dari dua norma yang ada dalam aturan khusus yang
harus digunakan adalah aturan yang memuat kekhususan yang lebih khusus yang
memuat aturan yang memenuhi kualifikasi dari pelanggaran yang dibuat. Adanya
piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) suatu korporasi maka penyelesaian permasalahan tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
adalah yang paling tepat diberlakukan.
0 Komentar