Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur adalah bentuk kekerasan seksual yang sangat serius. Tidak hanya meninggalkan luka fisik dan psikis mendalam pada korban, tetapi juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Di Indonesia, perlindungan anak dari kekerasan seksual telah ditegaskan melalui dua instrumen hukum utama: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Lebih dari itu, pendekatan hukum pidana kini juga menegaskan bahwa kasus pemerkosaan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan lagi delik aduan, yang berarti harus diproses tanpa menunggu laporan dari korban atau keluarganya.


Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur merupakan salah satu bentuk kejahatan paling keji dan merusak masa depan generasi muda. Tidak hanya berdampak pada fisik dan psikis korban, kejahatan ini juga mencederai moral masyarakat. Di Indonesia, perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual telah diatur secara tegas melalui dua payung hukum penting: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).


Anak dalam Perspektif Hukum


Dalam UU No. 35 Tahun 2014, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka, segala bentuk kekerasan seksual terhadap individu dalam rentang usia ini secara otomatis dikategorikan sebagai tindak pidana berat.


Definisi dan Bentuk Pemerkosaan Anak


UU TPKS (Nomor 12 Tahun 2022) memperluas cakupan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk:

  • Pemaksaan hubungan seksual terhadap anak.

  • Eksploitasi seksual.

  • Perdagangan anak untuk tujuan seksual.

  • Pemaksaan aborsi terhadap korban kekerasan seksual.


Pemerkosaan terhadap anak tidak selalu dilakukan dengan kekerasan fisik. Jika pelaku melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur — meskipun tanpa kekerasan atau dengan "persetujuan" anak — hal itu tetap dianggap sebagai pemerkosaan karena anak belum memiliki kapasitas hukum untuk menyetujui hubungan seksual.


Sanksi Hukum yang Berat


1. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014:

  • Pelaku dapat dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.

  • Jika pelaku adalah orang tua, wali, pendidik, atau orang yang memiliki kekuasaan atas anak, hukumannya dapat diperberat hingga sepertiga dari ancaman pidana maksimal.

2. Berdasarkan UU TPKS No. 12 Tahun 2022:

  • Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa mencapai penjara seumur hidup.

  • Disertai pidana tambahan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku, dan pemasangan alat deteksi elektronik.

Kedua undang-undang ini juga mengatur hak-hak korban, seperti:

  • Pendampingan psikologis dan hukum.

  • Rehabilitasi medis.

  • Jaminan perlindungan identitas.

  • Hak atas restitusi dan kompensasi.



Definisi Anak dan Bentuk Pemerkosaan Menurut Hukum

Dalam UU No. 35 Tahun 2014, anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu, segala bentuk hubungan seksual dengan anak—baik dengan kekerasan maupun tidak—secara hukum tetap dikategorikan sebagai pemerkosaan atau pencabulan.

UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS secara tegas memperluas cakupan kekerasan seksual, termasuk:

  • Pemerkosaan terhadap anak.

  • Eksploitasi seksual anak.

  • Perdagangan anak untuk tujuan seksual.

  • Kekerasan seksual dalam relasi kuasa, seperti oleh guru, orang tua, atau pemuka agama.



Analisis Hukum terhadap Tersangka

Dari sudut pandang hukum pidana, tersangka pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur akan menghadapi ancaman pidana berat, karena kejahatan ini melibatkan korban yang secara hukum tidak memiliki kapasitas untuk menyetujui hubungan seksual. Ini berarti unsur kekerasan atau ancaman tidak harus dibuktikan secara eksplisit, cukup dengan membuktikan bahwa korban adalah anak.

Berdasarkan Pasal 81 dan 82 UU No. 35 Tahun 2014, serta Pasal 6 dan Pasal 15 UU TPKS, tersangka dapat dikenakan:

  • Pidana penjara hingga 15 tahun atau bahkan seumur hidup.

  • Pidana tambahan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas, atau pemasangan alat pelacak elektronik.

  • Jika pelaku adalah orang yang memiliki relasi kuasa terhadap korban (guru, ayah, paman, dll), pidana diperberat sepertiga dari hukuman pokok.

Tersangka juga dapat dikenakan pasal kumulatif apabila kejahatan dilakukan secara berulang, atau disertai kekerasan fisik dan psikologis lainnya.



Pemerkosaan Anak adalah Delik Biasa: Polisi Wajib Bertindak

Penting untuk dipahami bahwa dalam sistem hukum Indonesia saat ini, pemerkosaan terhadap anak merupakan delik biasa. Artinya:

  • Proses hukum tidak bergantung pada laporan korban atau orang tua.

  • Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, memiliki kewajiban hukum untuk segera memproses perkara begitu ada informasi atau bukti awal yang memadai.

  • Siapa pun yang mengetahui adanya tindak pidana ini berhak dan bahkan wajib melaporkannya, dan laporan tersebut harus ditindaklanjuti tanpa alasan.

Dengan status sebagai delik biasa, tidak boleh ada alasan penundaan atau penghentian proses hukum, meskipun keluarga korban memutuskan untuk berdamai. Kepolisian tidak memiliki diskresi untuk menolak atau menunda penyelidikan terhadap kasus semacam ini.



Kewajiban Perlindungan dan Rehabilitasi untuk Korban

Selain menghukum pelaku, hukum Indonesia juga memberikan perhatian besar pada pemulihan korban, yang meliputi:

  • Pendampingan psikologis dan hukum secara gratis.

  • Rehabilitasi medis dan sosial.

  • Perlindungan kerahasiaan identitas.

  • Hak atas restitusi (ganti rugi dari pelaku) dan kompensasi (jika pelaku tidak mampu).



Penutup

Pemerkosaan terhadap anak adalah kejahatan berat yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencabik-cabik nilai-nilai moral masyarakat. Hukum Indonesia, melalui UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 12 Tahun 2022, telah menyediakan perangkat hukum yang kuat untuk menghukum pelaku dan melindungi korban. Kini, tantangan sesungguhnya adalah implementasi: aparat penegak hukum harus tegas, cepat, dan tidak menunggu laporan dalam menangani kasus-kasus seperti ini.

Masyarakat juga harus berani bertindak, mendukung korban, serta tidak ragu melapor ketika melihat indikasi kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, kejahatan ini bisa terjadi di mana saja — bahkan di lingkungan yang dianggap paling aman.