Penulis : Shaubilhaq Nurfajar S. Afamery, SH.,MH.

Undang-Undang cipta kerja merupakan Undang-Undang yang dirancang oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang secara umum tujuan pemerintah mendorong diberlakukannya UU Cipta Kerja adalah untuk mengatasi masalah-masalah yang menghambat pertumbuhan ekonomi dengan menyerderhanakan regulasi, meningkatkan iklim investasi, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

 

UU ini juga diklaim oleh pemerintah bahwa akan membantu memberdayakan UMKM, memperkuat industri nasional, dan mempercepat proyek strategis nasional. Dalam perjalanannya UU cipta kerja walaupun dideklarasikan dan diklaim oleh pemerintah sebagai UU yang memiliki isi yang sarat akan sisi positif demi menyejahterahkan rakyat maupun pengusaha, namun di sisi lain UU ini dalam riwayat pemberlakuannya tidak lepas dari banyak masalah baik sisi prosedural dimana pada saat pembahasannya di DPR sangat tergesa-gesa, minim partisipasi publik, dan dari sisi substansi materi UU-nya yang dianggap bermasalah sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan yang berujung demo besar-besaran akibat diberlakukannya UU tersebut. Singkat cerita, Mahkamah Konstitusi lalu melakukan uji materi pada UU cipta kerja pada tahun 2024 bulan oktober lalu dan menyatakan 21 pasal dalam UU tersebut adalah Inkonstitusional bersyarat, namun pada akhirnya tetap diberlakukan kembali oleh pemerintah dengan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang substansi materi UU-nya kurang lebih sama seperti sebelumnya.

 

Undang-Undang Cipta Kerja & pengaruhnya terhadap Gugatan Tindakan Faktual TUN Fiktif Positif Dalam Peradilan Tata Usaha Negara

 

Setelah dinyatakan berlaku kembali, UU Cipta kerja tidak luput dari masalah baru. Masalah yang cukup mendapat atensi masyarakat terkait UU ini adalah mengenai pengaturan kewenangan mengadili gugatan tindakan faktual keputusan yang bermuatan fiktif positif. Dalam lingkup peradilan TUN; konsep fiktif positif adalah teori/konsep yang menyatakan bahwa suatu permohonan administrasi jika dalam jangka waktu tertentu tidak direspon oleh pejabat TUN maka dengan sendirinya permohonan administrasi tersebut dianggap telah dikabulkan. Untuk menindaklanjuti agar fiktif positif ini diwujudkan melalui respon tindakan aktif oleh pejabat TUN sesuai dengan koridor hukum yang ada maka masyarakat atau pihak yang berkepentingan mesti mengajukan gugatan ke PTUN mengenai gugatan fiktif positif tindakan faktual oleh pejabat TUN yang bersangkutan.

 

Gugatan tindakan faktual terbagi atas 2 jenis yaitu tindakan faktual yang bersifat positif dalam arti gugatan TUN yang diajukan mengenai tindakan aktif pejabat TUN yang bertentangan dengan perundang-undangan & Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan gugatan tindakan faktual yang bersifat negatif adalah gugatan TUN yang diajukan akibat tindakan pasif/diam pejabat TUN yang mengakibatkan kerugian bagi pemohon/penggugat. Berdasarkan jenis gugatan tindakan faktual yang bersifat negatif, korelasinya dengan konsep positif secara umum yaitu misalnya ketika permohonan administrasi itu tidak diindahkan atau direspon oleh pejabat TUN dengan rentang 10 hari kerja (pasal 53 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2014) maka akibatnya para pemohon mengalami kerugian administratif. Ketika kerugian tersebut terjadi maka secara hukum tindakan diam tersebut membuat konsep fiktif positif berlaku (Pasal 53 ayat 3 UU No. 30 tahun 2014) sehingga berdasarkan konsep fiktif positif tersebut lalu menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan gugatan ke PTUN mengenai tindakan faktual negatif pejabat TUN dengan tujuan agar hakim PTUN memutuskan bahwa tergugat pejabat TUN yang telah merugikan para pemohon mesti menindaki permohonan administratif para pemohon tersebut secepat mungkin dan tindakan faktual bersifat negatif yang berujung pada berlakunya konsep fiktif positif inilah yang telah mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja dan menjadi masalah bagi masyarakat pencari keadilan sekarang.

 

Konsep fiktif positif ini terdapat dalam pasal 53 ayat 3 UU No.30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Teori atau konsep ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat agar proses administrasi bisa ditangani secara lebih efisien dan tidak berlarut-larut oleh pejabat Tata Usaha Negara (TUN). Di dalam UU administrasi Pemerintahan pasal 53 dijelaskan mengenai kewenangan PTUN untuk mengadili dan memutus terkait gugatan atas Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bermuatan fiktif positif yang dimohonkan oleh warga negara yang berkepentingan terhadap penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut namun dalam UU Cipta kerja pengaturan lembaga peradilan yang berwenang untuk mengadili dan memutus sengketa TUN terkait sengketa fiktif positif sebagaimana diatur oleh UU administrasi pemerintahan tidak diatur lagi sehingga secara otomatis telah menghapus kewenangan PTUN untuk mengadili dan memutus gugatan TUN yang memuat unsur fiktif positif dan hal ini makin diperkuat dengan SEMA No. 5 Tahun 2021 yang makin mempertegas ketiadaan kewenangan PTUN untuk mengadili sengketa mengenai sengketa tindakan faktual fiktif positif. 

 

Ketiadaan kewenangan PTUN dalam memutus sengketa fiktif positif dan korelasinya dengan UU no. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

 

Semenjak UU cipta kerja pertama kali disahkan melalui UU no. 11 tahun 2020, tidak lama setelahnya Mahkamah Agung lalu bertindak dengan mengeluarkan SEMA No. 5 Tahun 2021 yang isinya pada point huruf E angka 2 Tentang Rumusan Hukum Tata Usaha Negara menyatakan bahwa semenjak diundangkannya UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja maka permohonan fiktif positif sudah bukan menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika melihat rumusan SEMA yang menindaklanjuti UU Cipta kerja tersebut apakah dapat dijadikan alasan bagi PTUN menolak permohonan fiktif positif?

 

Menurut penulis hal tersebut tidak bisa dengan serta merta menjadikan permohonan fiktif positif mengenai tindakan faktual dapat ditolak oleh PTUN karena kita mesti berpatokan ke dasar hukum yang pada umumnya setara hirarkinya dengan UU Cipta Kerja dan masih berlaku saat ini yaitu UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 10 ayat 1 yang isinya menyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

Berdasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat 1 tersebut maka tidak ada alasan bagi hakim pengadilan TUN untuk menolak memeriksa, mengadili dan memutus perkara mengenai permohonan fiktif positif dari para penggugat karena alasan adanya kekosongan hukum atau ketiadaan kewenangan pengadilan TUN sebagaimana telah diderogasi oleh UU Cipta Kerja yang dikuatkan dengan SEMA No.5 Tahun 2021. Namun tidak dapat dinafikan bahwa walaupun hakim memang tetap wajib memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara fiktif positif walau terdapat kekosongan hukum di dalamnya maka gugatan perkara fiktif positif itu tetap akan diputus oleh hakim PTUN namun dalam bentuk penolakan gugatan para penggugat entah pada pemeriksaan tingkat pertama atau tingkat upaya hukum selanjutnya dengan dalih adanya kekosongan hukum akibat berlakunya pasal 175 UU Cipta Kerja yang diperkuat dengan SEMA No.5 Tahun 2021.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini maka ada beberapa alternatif yang menurut penulis bisa dilakukan:

1.   Dalam pasal 53 UU administrasi pemerintahan yang telah diubah dalam pasal 175 UU cipta kerja pada ayat 5 menginstruksikan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. Oleh karena itu untuk menindaklanjuti instruksi ketentuan perubahan pasal 53 UU administrasi pemerintahan dalam pasal 175 UU cipta kerja tersebut maka presiden terbaru mesti diingatkan untuk secepatnya menerbitkan PERPRES sesuai dengan instruksi pasal 175 UU Cipta Kerja agar masalah kekosongan hukum terkait kewenangan mengadili tindakan faktual fiktif positif tersebut tidak menjadi semakin rumit dan menimbulkan polemik berkepanjangan di masyarakat kedepannya.

2.   Jika presiden tidak menindaklanjuti keluhan masyarakat dengan menerbitkan PERPRES, maka masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan akibat pasal 175 UU cipta kerja tersebut mesti menempuh jalan alternatif lain yaitu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan memperkuat legal standing mereka terkait kerugian yang dialami secara langsung oleh para pemohon akibat kekosongan hukum ketiadaan kewenangan PTUN dalam mengadili tindakan faktual fiktif positif dalam UU Cipta Kerja.