Pandangan/Opini Oleh: MUHAMMAD AKBAR AIDIN, SH.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami lonjakan izin pertambangan, terutama dalam sektor nikel dan batu bara. Di tengah semangat hilirisasi industri, konflik antara keberlanjutan lingkungan dan kepentingan ekonomi menjadi semakin kentara. Namun yang patut disorot bukan hanya persoalan lingkungan semata, melainkan juga soal keadilan: siapa yang dilindungi dan siapa yang dikorbankan.
Pencabutan izin empat tambang di Raja Ampat oleh pemerintah pusat baru-baru ini (Juni 2025) disambut luas sebagai langkah progresif dalam perlindungan lingkungan. Namun di sisi lain, daerah seperti Pulau Kabaena dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara tetap dibiarkan dalam penderitaan panjang akibat aktivitas tambang, meski dampaknya sangat fatal.
Pandangan / Opini hukum ini mengkaji ketimpangan perlakuan hukum dalam kebijakan pertambangan serta memaparkan dampak sosial, ekonomi, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal yang kerap diabaikan dalam narasi pembangunan nasional.
Ketimpangan Perlakuan Hukum: Mengapa Pulau Raja Ampat Bisa, Pulau Kabaena dan Pulau Wawonii Tidak?
Pada 10–12 Juni 2025, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM resmi mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Geopark Raja Ampat. Keputusan ini merupakan respons terhadap tekanan publik, kampanye aktivis lingkungan, serta pelanggaran administratif seperti tidak adanya RKAB dan pencemaran lingkungan. (Sumber: Reuters, AP News, Greenpeace Indonesia, 2025)
Namun, situasi kontras terjadi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Pulau kecil ini telah menjadi lokasi konflik pertambangan selama bertahun-tahun. Padahal, secara hukum, pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km² seharusnya tidak boleh dieksploitasi tambang berdasarkan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Begitu pula dengan Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana. Aktivitas tambang nikel telah berlangsung massif, menyebabkan deforestasi, polusi udara, dan sedimentasi laut yang mematikan sektor perikanan—mata pencaharian utama masyarakat.
Pertanyaan hukum yang patut diajukan: Mengapa pemerintah cepat bertindak di Raja Ampat, namun lamban dan cenderung abai terhadap Wawonii dan Kabaena?
Dampak Kehilangan Mata Pencaharian
Dampak pertama dan paling nyata dari aktivitas tambang adalah hilangnya sumber penghidupan masyarakat.
-
Nelayan di Wawonii melaporkan penurunan hasil tangkapan akibat keruhnya perairan pesisir. Lumpur hasil pengerukan tambang mengendap dan mematikan terumbu karang.
-
Pembukaan lahan pertambangan dan dugaan limbah tambang yang mencemari sumber air.
-
Banyak warga terpaksa beralih menjadi buruh tambang, namun hanya bersifat sementara dan berisiko tinggi.
Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan bahwa di 2023–2024, sekitar 65% konflik agraria yang mereka tangani berkaitan langsung dengan ekspansi pertambangan, dengan mayoritas korban berasal dari sektor pertanian dan perikanan lokal.
Dampak Sosial: Fragmentasi Komunitas.
Pertambangan bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga merobek struktur sosial masyarakat:
Fragmentasi komunitas: Masyarakat terbagi antara yang mendukung tambang karena alasan ekonomi, dan yang menolak karena mempertahankan kelestarian alam. Ini memicu konflik horizontal.
Kondisi ini menandakan absennya negara dalam menjamin perlindungan hak-hak dasar warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Dampak Ekonomi: Ilusi Pertumbuhan
Pertambangan kerap dipromosikan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya, manfaat ekonominya jauh dari merata.
-
Ketergantungan pada tambang menciptakan ekonomi rentan: ketika harga nikel jatuh, seluruh perekonomian lokal pun terpuruk.
Di sisi lain, biaya pemulihan lingkungan dan kesehatan jauh lebih besar, bahkan tidak terhitung. Ini adalah kerugian ekonomi jangka panjang yang tak kasat mata.
Penutup: Seruan Keadilan Ekologis dan Penegakan Hukum yang Setara
Pencabutan izin tambang di Raja Ampat adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun tidak boleh berhenti di sana. Pemerintah seharusnya:
-
Meninjau ulang seluruh izin tambang di wilayah pulau kecil, termasuk Wawonii dan Kabaena.
-
Melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam setiap proses perizinan dan AMDAL.
-
Menindak tegas pelanggaran hukum dan lingkungan secara setara tanpa diskriminasi geografis atau politis.
-
Menyusun peta jalan transisi ekonomi hijau untuk wilayah terdampak tambang.
Indonesia tidak kekurangan aturan hukum. Yang kurang adalah komitmen dan keberanian politik untuk menegakkannya secara adil. Tanpa itu, kita hanya akan terus menyaksikan korban-korban baru di balik narasi “pembangunan”.
Referensi
-
Reuters, “Indonesia revokes nickel mining permits in Raja Ampat,” 10 Juni 2025.
-
AP News, “Indonesia stops nickel mining in diving hotspot Raja Ampat,” 10 Juni 2025.
-
Greenpeace Indonesia, “Tambang Nikel Ancam Raja Ampat,” 2025.
-
UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
-
UUD 1945, Pasal 28H.
-
Data BPS Sulawesi Tenggara, 2023.
-
YLBHI, Laporan Konflik Agraria, 2024.
0 Komentar