Penulis : MUHAMMAD AKBAR AIDIN, SH.


Korban Anak, Pelaku Dewasa, Hukum dibungkam: Di Mana Keadilan? Perkara pemerkosaan terhadap anak di bawah umur oleh orang dewasa merupakan salah satu bentuk kejahatan seksual yang sangat serius dan berdampak besar terhadap korban. 


Dalam praktik penegakkan hukum telah terjadi beberapa peristiwa oknum-oknum penyidik yang melakukan penghentian penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual seperti kasus pemerkosaan dan mereka mendalilkan pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan mengesampingkan norma hukum diatasnya yaitu Undang-Undang, padahal Negara melalui berbagai instrumen hukum, termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), telah memberikan landasan yang tegas dalam upaya penegakan hukum ataupun penghentian penyidikan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban. Namun, dalam praktik penegakan hukum, terdapat dinamika terkait penghentian penyidikan perkara semacam ini. Padahal penghentian penyidikan merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik ketika terdapat alasan hukum yang sah, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Konsep Penghentian Penyidikan dalam KUHAP

Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik dapat menghentikan penyidikan jika:

  1. Tidak terdapat cukup bukti,
  2. Peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana,
  3. Penyidikan dihentikan demi hukum.


Pemerkosaan terhadap anak merupakan bentuk kejahatan seksual yang diatur dalam berbagai peraturan, termasuk KUHP dan UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014), serta secara komprehensif diatur dalam UU TPKS. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, anak dianggap sebagai subjek hukum yang memerlukan perlindungan khusus. Oleh karena itu, perkara yang melibatkan korban anak, apalagi dalam konteks kekerasan seksual, harus mendapatkan prioritas tinggi dalam penanganan dan tidak boleh disikapi dengan penghentian yang sembrono atau berdasarkan alasan teknis semata.


Prinsip Perlindungan Anak dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Seksual


Prinsip perlindungan terbaik bagi anak menjadi asas fundamental dalam setiap proses penegakan hukum yang menyangkut anak. Dalam perkara pemerkosaan, anak sebagai korban memiliki hak atas keadilan, pemulihan, dan perlindungan dari potensi trauma lanjutan. Oleh karena itu, penghentian penyidikan pada perkara seperti ini harus sangat hati-hati dan dilandasi oleh pertimbangan yang benar-benar sah secara hukum.


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan kerangka hukum yang lebih tegas dalam menangani kejahatan seksual. Berikut beberapa pasal yang relevan:

Pasal 4 ayat (1) dan (2): Mengatur jenis-jenis kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan.

Pasal 6: Menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap anak dikenai pidana berat.


Kemudian di Pasal 21 :

1)      Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan:

     a.Memiliki integritas dan kompetensi tentang Penanganan perkara yang berperspektif hak         asasi manusia dan Korban; dan

            b. Telah mengikuti pelatihan terkait Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual.


BAHWA BERDASARKAN PASAL 21 TERSEBUT, MENJADI DASAR PENYIDIK YANG MENANGANI PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL HARUS MEMENUHI KUALIFIKASI DARI PASAL TERSEBUT


AKAN TETAPI MENJADI SUATU PERTANYAAN, JIKALAU PENYIDIK SUDAH MEMENUHI KUALIFIKASI DARI PERSYARATAN TERSEBUT, LANTAS MENGAPA PADA PERKARA-PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL (PEMERKOSAAN) DIBERHENTIKAN PROSES PENYIDIKANNYA YANG DALAM HAL INI PELAKUNYA ADALAH ORANG DEWASA? APAKAH PENYIDIK YANG MELAKUKAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN TELAH MEMAHAMI SECARA MENYELURUH DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUSAL (UU TPKS) ?



Pasal 23: Merupakan pasal kunci yang harus dikaji secara mendalam dalam konteks penghentian penyidikan.


FOKUS PADA PASAL 23 UU TPKS


Pasal 23 UU TPKS menyatakan:

 

" Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual TIDAK DAPAT DILAKUKAN PENYELESAIAN DI LUAR PROSES PERADILAN, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang."


Pasal ini menegaskan bahwa secara umum, perkara kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan di luar proses peradilan pidana. Hal ini berarti bahwa penyelesaian melalui mediasi, restorative justice (kecuali terhadap pelaku anak), atau pencabutan laporan oleh korban tidak dapat menjadi dasar penghentian penyidikan. Dalam konteks pemerkosaan terhadap anak oleh orang dewasa, pasal ini memberikan batasan tegas bahwa tidak ada ruang kompromi untuk penyelesaian non-yudisial, sehingga menegaskan pentingnya melanjutkan proses hukum sampai ke pengadilan.


ASAS HUKUM


Dalam asas hukum, kedudukan Undang-Undang (UU) dan Peraturan Kepolisian (Perpol) berada pada jenjang hierarki yang berbeda sesuai dengan asas hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.


1.      Kedudukan Undang-Undang dalam Asas Hukum


Undang-Undang (UU) berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dan sejajar dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kedudukan hukum UU bersifat mengikat secara umum dan kuat, serta menjadi rujukan utama dalam perumusan dan pelaksanaan norma hukum.

Ciri-ciri kedudukan UU:

  • Dibentuk oleh DPR dan Presiden secara bersama.
  • Memiliki kekuatan hukum yang tinggi dalam hierarki peraturan.
  • Mengikat seluruh warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara.
  • Dapat mengatur hal-hal yang menyangkut hak asasi manusia dan pidana.

Dalam konteks UU TPKS, karena merupakan produk legislasi Undang-Undang, maka norma-normanya bersifat memaksa (ius cogens), khususnya dalam Pasal 23 yang melarang penyelesaian perkara di luar pengadilan.


2.      Kedudukan Peraturan Kepolisian (Perpol) dalam Asas Hukum


Peraturan Kepolisian (Perpol) adalah bagian dari dalam kategori peraturan pelaksana (kedudukannya berada dibawah undang-undang) yang hanya dapat mengatur hal-hal teknis operasional dan tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.

Dalam hierarki hukum, Perpol berada pada tingkat:

  • Peraturan internal lembaga (lembaga eksekutif atau lembaga negara lainnya),
  • Tidak dapat mengubah, mengesampingkan, atau mengurangi ketentuan yang sudah diatur oleh Undang-Undang,
  • Hanya berlaku secara administratif dan operasional di lingkungan kepolisian.

Contohnya adalah Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

“ASAS LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI”

 

Asas ini berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Maka, dalam konteks penanganan perkara kekerasan seksual:

  • UU TPKS lebih tinggi dari Perpol,
  • Pasal 23 UU TPKS melarang penyelesaian di luar proses peradilan,
  • Perpol tentang restorative justice tidak dapat diterapkan dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak, karena bertentangan dengan norma UU.

 

“ASAS LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI”


Asas ini berarti bahwa peraturan yang terbaru mengesampingkan lama. Maka dalam konteks penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa maka:

Perpol tersebut diterbitkan pada tahun 2021 sedangkan UU TPKS diterbitkan pada tahun 2022 sehingga melihat dari segi kebaharuan hukum apalagi ketika terjadi pertentangan antara ketentuan hukum yang lama dengan ketentuan hukum terbaru maka yang digunakan adalah ketentuan hukum yang terbaru. Dalam penanganan perkara seksual terhadap anak dengan orang dewasa sebagai pelakunya maka yang digunakan sebagai acuan utama adalah ketentuan peraturan dalam UU TPKS khususnya pasal 23 bukan perpol tersebut.


4. Konsekuensi Hukum dan Praktik

Jika terdapat penyidik atau pejabat yang menggunakan dasar Perpol untuk menghentikan penyidikan atau melakukan restorative justice dalam perkara pemerkosaan anak:

  • Maka tindakan tersebut cacat hukum,
  • Dapat diajukan gugatan praperadilan atau dilaporkan ke Divpropam Polri,
  • Dapat dilaporkan juga ke KPAI, LPSK, atau lembaga HAM.


Kesimpulan:
Dalam asas hukum dan sistem perundang-undangan Indonesia:

    • Undang-Undang TPKS memiliki kekuatan hukum lebih tinggi daripada Perpol,
    • Undang-Undang TPKS merupakan peraturan hukum terbaru yang mengesampingkan perpol tersebut sebagai ketentuan hukum yang lama.
    • Peraturan seperti Perpol tidak dapat menjadi dasar sah untuk menghentikan penyidikan perkara kekerasan seksual terhadap anak,
    • Semua penanganan perkara kekerasan seksual, khususnya yang melibatkan anak, harus mengacu secara ketat pada UU TPKS, khususnya Pasal 23.

Penghentian penyidikan terhadap perkara pemerkosaan anak oleh orang dewasa dapat menjadi preseden buruk yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Undang-Undang TPKS telah memberikan landasan hukum yang tegas dan berpihak pada korban. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan profesional dan berdasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan pasal-pasal lainnya dalam UU TPKS.