Penulis : Muhammad Akbar Aidin, SH. (Advokat LBH PK SULTRA)

Salah satu persoalan klasik dalam praktik hukum pidana di Indonesia adalah membedakan antara wanprestasi (ingkar janji dalam perjanjian) dan penipuan. Perbedaan ini sangat penting karena menyangkut batas antara ranah hukum perdata dan hukum pidana. Mahkamah Agung melalui berbagai putusannya menegaskan bahwa tidak setiap pelanggaran perjanjian dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindak pidana penipuan. Hal ini tercermin dalam Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pid/2018, yang menegaskan bahwa para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian sah pada dasarnya hanya melakukan wanprestasi, bukan tindak pidana penipuan, kecuali apabila terbukti sejak awal perjanjian dibuat sudah ada itikad buruk.


Secara konseptual, wanprestasi adalah bentuk kegagalan memenuhi kewajiban yang lahir dari suatu perikatan atau kontrak. Wanprestasi menimbulkan konsekuensi perdata, seperti ganti rugi, pemenuhan perjanjian, atau pembatalan kontrak. Sebaliknya, penipuan dalam hukum pidana mengandung unsur kesengajaan untuk memperdaya atau mengelabui pihak lain sejak awal. Artinya, jika seseorang sejak awal memang tidak memiliki niat melaksanakan kewajibannya dan hanya bertujuan memperoleh keuntungan secara melawan hukum, maka unsur pidana baru terpenuhi. Dengan demikian, pembedaan antara wanprestasi dan penipuan bergantung pada ada atau tidaknya niat jahat (mens rea) sejak terbentuknya perjanjian.


Mahkamah Agung dalam sejumlah putusan yang dirujuk dalam yurisprudensi ini, antara lain Putusan No. 598 K/Pid/2016, No. 1357 K/Pid/2015, No. 1316 K/Pid/2016, No. 1336 K/Pid/2016, dan No. 902 K/Pid/2017, konsisten menyatakan bahwa sengketa yang muncul akibat tidak terpenuhinya prestasi kontraktual merupakan ranah perdata. Sebagai contoh, keterlambatan pengembalian utang atau kegagalan menyerahkan objek jual beli lebih tepat dikualifikasikan sebagai wanprestasi, bukan tindak pidana. Sikap ini menunjukkan kehati-hatian Mahkamah Agung agar instrumen hukum pidana tidak digunakan secara berlebihan terhadap sengketa perdata murni.


Dari sudut pandang praktis, yurisprudensi ini memberikan pedoman penting bagi aparat penegak hukum agar tidak mudah mengkriminalisasi permasalahan kontraktual. Pemisahan ranah hukum perdata dan pidana tidak hanya menjaga kepastian hukum, tetapi juga mencegah penyalahgunaan hukum pidana sebagai alat tekanan dalam sengketa perdata. Oleh karena itu, setiap laporan dugaan penipuan yang berakar pada perjanjian harus terlebih dahulu diuji apakah terdapat niat jahat sejak awal. Jika tidak, maka penyelesaian yang tepat adalah melalui jalur gugatan perdata.


Dengan demikian, Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018 mempertegas garis batas yang jelas antara wanprestasi dan penipuan. Prinsip ini tidak hanya menjaga konsistensi penerapan hukum, tetapi juga melindungi integritas hukum pidana agar tidak digunakan untuk tujuan yang menyimpang. Ke depan, pemahaman atas yurisprudensi ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi hakim, jaksa, advokat, maupun masyarakat dalam menyelesaikan sengketa perjanjian secara proporsional sesuai dengan ranah hukumnya.