Dalam dunia hukum pidana Indonesia, yurisprudensi memiliki posisi yang sangat penting sebagai sumber hukum tidak tertulis. Walaupun secara normatif undang-undang menjadi dasar utama, praktik peradilan yang berulang dan konsisten dari Mahkamah Agung dapat membentuk kaidah hukum baru yang berfungsi sebagai pedoman bagi hakim, jaksa, advokat, dan masyarakat. Salah satu putusan penting yang kemudian menjadi yurisprudensi adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 170 K/PID/2014. Putusan ini menegaskan bahwa harga barang yang sangat jauh di bawah harga pasar dapat menjadi indikator kuat bahwa barang tersebut patut diduga berasal dari tindak pidana. Dengan demikian, pembeli dalam kondisi demikian seharusnya menaruh curiga agar tidak terjebak pada tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP.
Latar Belakang Perkara
Kasus yang melahirkan yurisprudensi ini bermula dari tindakan seorang buruh bangunan yang berstatus sebagai Terdakwa. Terdakwa membeli sebuah pompa air milik perusahaan daerah air minum (PDAM) yang ditawarkan oleh seorang tenaga honorer di sana. Barang tersebut dibeli dengan harga Rp3.000 per kilogram, total Rp400.000, jauh di bawah nilai pasar sebenarnya. Terdakwa berencana menjual kembali dengan harga Rp3.200 per kilogram untuk memperoleh keuntungan. Pompa air itu kemudian dibawa dengan menggunakan motor Yamaha Jupiter Z milik Terdakwa. Namun, sebelum sempat menjualnya, Terdakwa ditangkap aparat kepolisian.
Di tingkat pertama, Pengadilan Negeri menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penadahan dan menjatuhkan pidana penjara selama 9 bulan. Barang bukti berupa pompa air dikembalikan kepada PDAM, sedangkan sepeda motor dikembalikan kepada Terdakwa. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. Jaksa kemudian mengajukan kasasi, dengan alasan sepeda motor sebagai sarana tindak pidana seharusnya dirampas untuk negara. Namun, Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa putusan judex facti sudah tepat, dan menguatkan pandangan bahwa Terdakwa patut menduga barang yang dibelinya berasal dari tindak pidana karena harganya yang sangat murah.
Unsur Delik Penadahan
Pasal 480 KUHP menyebutkan bahwa seseorang dapat dipidana karena membeli, menerima, menyimpan, atau mengangkut barang yang diketahui atau sepatutnya diduga berasal dari tindak pidana. Unsur yang sering menimbulkan perdebatan adalah “patut diduga”. Apakah setiap orang harus selalu menyelidiki asal-usul barang yang dibelinya? Bagaimana batasan “kepatutan” dalam menduga suatu barang hasil kejahatan?
Putusan 170 K/PID/2014 memberikan jawaban konkret: harga yang sangat jauh di bawah harga pasar merupakan tolok ukur kepatutan itu. Seseorang yang membeli barang dengan harga tidak wajar wajib menaruh curiga. Jika ia tetap membeli, maka unsur “patut diduga” terpenuhi dan perbuatannya masuk kategori penadahan.
Kaidah Hukum dan Yurisprudensi
Dengan putusan ini, Mahkamah Agung tidak hanya menyelesaikan perkara Terdakwa, tetapi juga membentuk kaidah hukum yang bersifat umum. Kaidah tersebut adalah: barang yang dibeli dengan harga jauh di bawah harga pasar patut diduga berasal dari tindak pidana. Kaidah ini kemudian dijadikan yurisprudensi yang tercatat dalam direktori resmi Mahkamah Agung dan dijadikan rujukan dalam berbagai putusan selanjutnya.
Misalnya, dalam Putusan Nomor 1008 K/PID/2016, Terdakwa membeli laptop dan barang elektronik lain dengan harga sangat murah, yakni Rp2,2 juta, padahal harga pasarnya Rp5,5 juta. Mahkamah Agung kembali menegaskan bahwa transaksi underpriced ini memenuhi unsur penadahan. Sebaliknya, dalam Putusan Nomor 770 K/PID/2014 dan 607 K/PID/2015, Terdakwa membeli barang dengan harga wajar dan dalam kondisi normal, sehingga dinyatakan tidak terbukti melakukan penadahan. Dari sini terlihat konsistensi Mahkamah Agung dalam menggunakan harga pasar sebagai parameter hukum.
Putusan ini memiliki signifikansi besar bagi sistem hukum pidana di Indonesia. Pertama, putusan ini mengisi kekosongan hukum mengenai tafsir “patut diduga”. KUHP tidak memberikan indikator konkret, sehingga tafsir hakim diperlukan. Kedua, yurisprudensi ini memperkuat perlindungan terhadap masyarakat dari praktik kejahatan, terutama pencurian dan peredaran barang hasil kejahatan. Dengan adanya kaidah ini, masyarakat didorong untuk berhati-hati dan tidak gegabah membeli barang dengan harga murah tanpa asal-usul jelas.
Selain itu, putusan ini menegaskan bahwa yurisprudensi dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang hidup, melengkapi norma undang-undang. Hakim di pengadilan lain dapat menjadikannya pedoman ketika menghadapi perkara serupa. Dengan begitu, tercipta konsistensi hukum di seluruh Indonesia.
Namun, penerapan yurisprudensi ini tidak lepas dari tantangan dan kontroversi. Pertama, ada potensi benturan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata, di mana penjual dan pembeli bebas menentukan harga. Bila harga murah otomatis dianggap mencurigakan, apakah hal ini tidak membatasi asas tersebut? Kedua, ada potensi konflik dengan asas iktikad baik (bezit te goeder trouw). Dalam hukum perdata, orang yang memperoleh barang dengan iktikad baik dilindungi. Namun dalam hukum pidana, iktikad baik bisa diabaikan bila harga terlalu murah.
Selain itu, penerapan kaidah ini harus mempertimbangkan jenis barang. Untuk barang bergerak seperti elektronik, publik mungkin tidak selalu tahu harga pasar sebenarnya. Sebaliknya, untuk barang tidak bergerak seperti tanah, harga pasar lebih mudah diketahui. Oleh karena itu, hakim perlu bijak agar kaidah yurisprudensi ini tidak diterapkan secara kaku.
Bagi praktisi hukum, putusan ini menjadi pedoman penting. Hakim dapat merujuk pada kaidah ini ketika memutus perkara penadahan. Jaksa dapat menggunakannya sebagai dasar dakwaan. Advokat dapat mengantisipasinya dalam pembelaan, misalnya dengan menunjukkan bahwa harga pembelian sesuai dengan harga pasar.
Bagi masyarakat, putusan ini menjadi peringatan agar lebih berhati-hati. Membeli barang murah tanpa asal-usul jelas bukan hanya berisiko rugi secara ekonomi, tetapi juga dapat menjerat pembeli ke ranah pidana. Prinsipnya, bila harga suatu barang terlalu murah dan tidak wajar, maka patut dicurigai sebagai hasil kejahatan.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 170 K/PID/2014 adalah tonggak penting dalam hukum pidana Indonesia. Putusan ini telah menjadi yurisprudensi yang menetapkan harga pasar sebagai indikator kepatutan dalam delik penadahan. Dengan demikian, setiap orang dituntut lebih hati-hati dalam melakukan transaksi. Walaupun masih terdapat tantangan dalam penerapannya, terutama dalam kaitannya dengan asas hukum perdata, putusan ini jelas memberikan kontribusi besar bagi kepastian hukum dan perlindungan masyarakat.
Yurisprudensi ini mengingatkan kita semua bahwa hukum pidana bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga soal membangun kesadaran masyarakat untuk tidak terlibat, bahkan secara tidak sengaja, dalam tindak pidana. Dengan memahami dan mematuhi kaidah ini, masyarakat dapat lebih terlindungi, dan sistem hukum pidana dapat berjalan lebih efektif.
Penulis : Muhammad Akbar Aidin, SH. (Advokat LBH PK SULTRA)

0 Komentar