Dalam sistem hukum Indonesia, yurisprudensi memegang peranan penting meskipun tidak diakui secara formal sebagai sumber hukum utama yang sejajar dengan undang-undang. Hakim di Indonesia berpedoman pada undang-undang, tetapi dalam praktiknya mereka tidak bisa lepas dari pertimbangan putusan-putusan terdahulu yang telah konsisten diputuskan oleh Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena dalam banyak hal, undang-undang tidak mampu menjawab secara rinci berbagai persoalan hukum yang muncul di masyarakat. Salah satu contoh penting adalah sengketa yang timbul dari perjanjian pembiayaan konsumen, khususnya yang menggunakan jaminan fidusia atau hak tanggungan. Perdebatan mengenai apakah sengketa jenis ini masuk dalam ranah perlindungan konsumen yang menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau murni merupakan sengketa perdata wanprestasi biasa telah lama menjadi polemik di kalangan praktisi hukum, akademisi, maupun masyarakat luas.


Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1/Yur/Perkons/2018 menjadi tonggak penting. Dalam yurisprudensi ini, Mahkamah Agung menegaskan secara konsisten bahwa sengketa yang timbul dari perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia atau hak tanggungan bukan termasuk sengketa konsumen dalam arti Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga BPSK tidak berwenang untuk mengadilinya. Putusan ini memperkuat konsistensi yang telah dibangun sejak putusan No. 27 K/Pdt.Sus/2013 dan No. 306 K/Pdt.Sus/2013, yang mengarah pada pembentukan yurisprudensi tetap.


Artikel ini akan menguraikan analisis mendalam atas yurisprudensi tersebut dengan menyoroti latar belakang perdebatan hukum, isi putusan, argumentasi Mahkamah Agung, kritik dan kelemahannya, serta dampak praktis terhadap dunia hukum dan masyarakat. Analisis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang posisi yurisprudensi dalam memperkuat kepastian hukum sekaligus membuka ruang evaluasi apakah benar arah putusan ini selaras dengan tujuan perlindungan konsumen di Indonesia.


Latar Belakang Sengketa Pembiayaan Konsumen


Sengketa pembiayaan konsumen muncul seiring berkembangnya industri keuangan non-bank di Indonesia, khususnya perusahaan pembiayaan yang memberikan fasilitas kredit untuk pembelian kendaraan bermotor, rumah, atau barang konsumsi lainnya. Dalam praktiknya, perusahaan pembiayaan mengikat perjanjian kredit dengan konsumen dan menjaminkan barang yang dibiayai melalui skema jaminan fidusia. Dalam jangka waktu tertentu, konsumen wajib membayar cicilan sesuai dengan perjanjian. Apabila konsumen lalai, kreditur dapat mengeksekusi jaminan fidusia, biasanya berupa kendaraan bermotor.


Persoalan muncul ketika konsumen merasa dirugikan, misalnya karena klausula baku yang memberatkan, eksekusi yang dilakukan tanpa prosedur yang sah, atau pengenaan biaya tambahan yang tidak transparan. Konsumen kemudian membawa perkara ini ke BPSK, yang berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) memang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui mediasi, arbitrase, atau ajudikasi.


Namun, sejak awal terdapat dua pandangan berbeda di peradilan:


  1. Pandangan pertama, menyatakan bahwa sengketa pembiayaan konsumen merupakan sengketa konsumen karena perjanjian kredit merupakan hubungan hukum antara pelaku usaha (perusahaan pembiayaan) dengan konsumen. Dengan demikian, BPSK berwenang untuk mengadilinya.

  2. Pandangan kedua, menyatakan bahwa sengketa pembiayaan konsumen bukanlah sengketa konsumen, melainkan murni sengketa perdata berupa wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang dengan jaminan fidusia atau hak tanggungan. Oleh karena itu, penyelesaiannya hanya bisa dilakukan melalui pengadilan negeri, bukan BPSK.


Ketidakpastian ini menyebabkan kebingungan di masyarakat, karena sebagian putusan pengadilan menerima sengketa pembiayaan di BPSK, sementara yang lain menolaknya. Kondisi ini bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.


Isi Yurisprudensi Mahkamah Agung

Dalam yurisprudensi 2018 ini, Mahkamah Agung secara eksplisit menegaskan:

  • Sengketa yang timbul dari perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia atau hak tanggungan tidak termasuk lingkup sengketa konsumen sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.

  • Oleh karena itu, BPSK tidak berwenang menyelesaikannya.

  • Penyelesaian sengketa semacam ini harus ditempuh melalui pengadilan negeri sebagai sengketa perdata wanprestasi biasa.


Mahkamah Agung mendasarkan pertimbangannya pada konsistensi putusan sebelumnya, terutama:

  • Putusan No. 27 K/Pdt.Sus/2013 (Ny. Yusmaniar vs PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk), yang menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang memeriksa sengketa perjanjian pembiayaan konsumen.

  • Putusan No. 306 K/Pdt.Sus/2013, yang menegaskan kembali bahwa sengketa pembiayaan konsumen termasuk ranah perdata biasa, bukan sengketa konsumen.


Konsistensi sejak 2013 itulah yang dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi tetap.


Argumentasi Mahkamah Agung


Ada beberapa alasan utama yang digunakan Mahkamah Agung dalam membangun yurisprudensi ini:


  1. Sifat Perjanjian
    Perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia merupakan perikatan perdata yang tunduk pada KUH Perdata, bukan perikatan konsumen yang tunduk pada UU Perlindungan Konsumen. Hubungan hukum utamanya adalah kreditur–debitur, bukan pelaku usaha–konsumen.

  2. Karakter Jaminan Fidusia/Hak Tanggungan
    Sengketa sering kali berhubungan dengan eksekusi jaminan fidusia atau hak tanggungan, yang pengaturannya sudah jelas dalam UU Fidusia maupun UU Hak Tanggungan. Hal ini bukan domain BPSK.

  3. Kepastian Hukum
    Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara BPSK dan pengadilan negeri, perlu ditegaskan bahwa sengketa pembiayaan konsumen hanya dapat diselesaikan melalui pengadilan negeri.

  4. Efisiensi Proses
    Jika BPSK tetap diberi kewenangan, maka hasil putusan BPSK bisa tumpang tindih dengan pengadilan negeri. Hal ini justru menambah ketidakpastian hukum.


Walaupun memberikan kepastian hukum, yurisprudensi ini menyisakan sejumlah persoalan.


Pertama, Mahkamah Agung tampak mengabaikan aspek perlindungan konsumen dalam perjanjian pembiayaan. Faktanya, konsumen dalam perjanjian kredit berada dalam posisi yang lemah karena perjanjian biasanya berbentuk klausula baku yang disusun sepihak oleh perusahaan pembiayaan. Konsumen tidak memiliki ruang untuk bernegosiasi, sehingga sering kali dirugikan. Seharusnya kondisi ini masuk dalam ranah perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1999.


Kedua, yurisprudensi ini dapat melemahkan akses keadilan bagi konsumen. Jika sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan negeri, maka konsumen harus menanggung biaya, waktu, dan prosedur yang panjang. Sebaliknya, BPSK sejatinya didesain sebagai forum sederhana, cepat, dan murah. Dengan menutup akses ke BPSK, konsumen semakin terhambat untuk mencari keadilan.



Ketiga, dari perspektif teori hukum, Mahkamah Agung lebih memilih kepastian hukum daripada keadilan. Padahal, hukum seharusnya tidak hanya memberikan kepastian, tetapi juga memberikan keadilan dan kemanfaatan. Dalam hal ini, asas perlindungan terhadap pihak yang lemah (protection of the weaker party) seharusnya juga menjadi pertimbangan.


Keempat, perkembangan industri keuangan digital (fintech) semakin memperlihatkan kerentanan konsumen. Dengan transaksi yang serba cepat, daring, dan penuh klausula baku, posisi konsumen semakin lemah. Jika semua sengketa diarahkan ke pengadilan negeri, maka perlindungan hukum terhadap konsumen menjadi semakin tipis.


Penulis : Muhammad Akbar Aidin, SH.